Text
Nabi Tidak Melakukan Berarti Haram?
Masif sekali beredar di kalangan masyarakat baik terpelajar atau pun juga tidak (dalam hal ini masalah syariah) terkait kaidah yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang Nabi s.a.w tidak kerjakan itu adalah perkara yang haram. Ini yang masyhur. Maka perlu ada pembahasan terkait ini, apakah memang demikian. Apakah memang benar apa yang ditinggalkan Nabi s.a.w atau Nabi s.a.w tidak mengerjakan itu berarti haram dan terlarang untuk dilakukan? Untuk itu penting untuk dijelaskan terlebih dahulu adalah hakikat ‘meninggalkan’ itu.
Dalam bahasa Arab, meninggalkan disebut dengan al-Tarku [الترك], yang secara bahasa memang mempunyai arti meninggalkan. Sedangkan al-Tarku [الترك] dalam pembahasan kita berarti “Meninggalkannya Nabi s.a.w suatu pekerjaan tanpa ada keterangan bahwa beliau melarangnya, baik secara lisan atau juga dengan isyarat serta pernyataannya.”
Disebutkan “tanpa ada keterangan … “ itu dimaksudkan bahwa kalau memang ada keterangan Nabi s.a.w melarangnya baik secara lisan atau pernyataan, maka itu tidak termasuk dalam kategori “meninggalkan”, akan tetapi itu adalah “Larangan!”, karena ada keterangan Nabi melarangnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah semua yang tidak dilakukan Nabi s.a.w itu berbuah haram dan terlarang untuk dikerjakan? Lebih sempit lagi apakah al-Tarku itu konsekuensinya adalah keharaman? Nyatanya tidak ada ulama uhsul fiqh yang menyatakan bahwa keharaman itu dihasilakn dari sebuah perkara yang ditinggalkan Nabi s.a.w, atau juga dari perkara yang Nabi s.a.w tidak pernah lakukan!
19090295 | 297.14 ZAR n c.1 | Perpustakaan Pusat ITERA (Rak kelas 200) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain