Text
Alazhi Perawan Xinjiang
“Bagi orang tua, anak perempuan itu ibarat permata. Mungkinkah mereka meletakkan benda berharga itu sembarangan? Tidak. Mereka mengikatnya dengan emas atau platina, mengalungkannya di leher agar dekat dengan jantungnya, dililitkannya di pergelangan agar melekat di nadinya, menempelkannya di telinga agar selalu terdengar bisikannya. Anak-anak perempuan bagaikan tiara yang dijunjung di kepala agar senantiasa terjaga kehormatannya”.
“ Tidakkah kau ingat, Alazhi, yang paling akhir mengetuk pintu hati adalah sesal” Hanipa. Mungkin kata-kata ibunya itulah yang selalu terngiang di telinga Alazhi, setiap ia mengingat ibunya yang begitu ia cintai dan paling mencintainya di dunia ini. Alazhi adalah putri pertama dari Damullah Hadjim Musha. Damullah adalah sebutan untuk pemimpin agama di Suku Muslim Uyhgur China. Bersama keluarganya , Alazhi hidup di kota kecil bernama Kashgar. Penduduk Kashgar yang mayoritas beragama Islam, bertahan di tahan gempuran penindasan di negerinya sendiri. Warga asli dari Suku Muslim Uyghur, dilarang menempati jabatan-jabatan yang srategis di pemerintahan. Pun yang berwirausaha, usaha nya dipaksa untuk gulung tikar. Dengan berbagai kebijakan-kebijakan Pemerintah yang semakin hari semakin mencekik kehidupan warga Uyghur. Lahan-lahan pertanian, tanah-tanah, sekolah bahkan rumah penduduk asli Uyghur pun dihancurkan tanpa sebab pasti apalagi ganti rugi. Kepedihan demi kepedihan itulah yang membuat Alazhi akhirnya pergi merantau ke Guang Zhou, menyusul kedua adik perempuannya yang lebih dulu kabur dari rumah menyongsong impian mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang “layak”.
Namun, impian itu ternyata tak semanis yang dibayangkan. Untuk mendapatkan pekerjaan yang “layak” itu, Alazhi dan seluruh wanita dari suku Uyghur diharuskan menanggalkan jilbab dan segala atribut keagamaan mereka. Alazhi harus menggadaikan iman dalam hatinya dan ajaran-ajaran Islam yang ditanamkan Damullah sejak ia kecil. Ia pun kehilangan cinta dan kasih sayang keluarganya, dan kehilangan Mammet Hasan. Cinta pertama yang tak pernah dimilikinya, cinta pertama yang ditolaknya demi menggapai impian kecemerlangan kariernya. Tapi setelah semua Alazhi lepaskan, bukan kebahagiaan yang ia dapatkan. Justru penindasan dari suku Han pada suku Uyghur semakin merajalela, hingga suatu hari terjadi kerusuhan besar yang membuat ayah dan adik lelakinya terluka bahkan Mammet Hasan yang masih ia cintai meninggal dunia.
Dan Alazhi tetap bergeming di Guang Zhou, meski sang ibu memaksanya untuk pulang dan kembali ke tengah keluarga mereka. Hingga akhirnya, Damullah Hadjim Musha menutup usianya dengan menyimpan kerinduan yang amat dalam pada putri-putrinya, yang sampai ia menutup mata tak pernah kembali.
Membaca novel ini, emosi saya terasa teraduk-aduk. Karena novel ini bukanlah sekedar novel. Namun, hampir keseluruhan isi cerita dan tokoh yang tersaji benar-benar ada dan terjadi. Sang penulis, yang dalam ketidak sengajaannya bertemu dengan Alazhi binti Musha di tempat nya bekerja sebagai Manager Restoran Muslim di Guang Zhou. Alazhi menuturkan bait demi bait kisah hidupnya pada penulis yang kemudian ia bukukan menjadi novel ini.
Tak terbayangkan bagaimana kesedihan demi kesedihan terus dirasakan oleh suku Uyghur disana, ditambah dengan segala pemberitaan yang ada hingga saat ini tentang perselisihan ke dua suku Uyghur yang Muslim dan suku Han yang non muslim. Namun, terlepas dari pertikaian ini, novel ini menceritakan dengan baik suasana keseharian suku Uyghur dengan segala kesederhanaannya. Isu agama memang selalu memancing percikan kemarahan dari berbagai penjuru dunia. Apa yang terjadi di Uyghur, isu atau bukan,bagaimanapun kebebasan dalam menjalani ajaran agama yang dianut adalah hak setiap manusia dimanapun ia berada. Sehingga terciptalah kedamaian dunia seperti yang selama ini kita dambakan. Ditutup dengan pidato terakhir sang Damullah yang begitu dalam akan pengharapan terwujudnya kedamaian dan kebebasan beribadah, membuat novel ini begitu sarat akan pesan moral yang mulia. Semoga harapan sang Damullah dapat segera terwujud dan segala pertikaian yang terjadi baik itu di Xin Jiang, Rohingya maupun Palestina dapat segera ada jalan keluar yang terbaik.
230110789 | 813 ANW a c.1 | Perpustakaan Pusat ITERA (Rak Klas 800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain